Resensi
The Map is Not Territory
Judul : Kritik Tanpa Solusi (Memoar Anomali dan Teologi Zaman)
Penulis : M Abdullah Badri
Penerbit : Diroz Pustaka, Semarang
Tebal : xii+392 halaman
Cetakan : I, Oktober 2012
Peresensi : Ahdi Riyono
Dirozpustaka.com - Pertama-tama saya ucapkan selamat atas terbitnya sebuah memoar dari sosok pemuda yang masih dalam pergumulan mencari jati diri, M Abdullah Badri, lahir di Kabupaten Jepara. Sebagai pemuda desa yang sedang menimba ilmu di sebuah institusi agama (baca: IAIN Walisongo), sosok Badri mewujud jadi pemuda yang lahir penuh kegelisahan.
Kegelisahan inilah yang pada akhirnya membawa ia menelusuri ruang-ruang kegelapan dengan sebuah semangat dan sinar pengetahuan yang didapat dari membaca buku, diskusi, atau mengikuti seminar.
Di samping itu, dia juga merasa berutang budi kepada LPM IDEA dan UKM KSMW yang telah membuatnya menjadi sosok penulis yang cukup produktif, walaupun belum lulus sarjana. Kiprahnya di dunia tulis menulis melahirkan buku ini. Buku kompilasi dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di berbagai media cetak maupun yang belum diterbitkan ini menyuguhkan sebuah antologi tulisan yang topiknya sungguh variatif. Ada topik keagamaan, pendidikan, politik, budaya, serta filsafat dan lainnya.
Latar belakang pendidikan madrasah dan pesantren serta pemikiran ala IAIN penulis tenyata sangat kental memengaruhi pola pikirnya dalam melihat masalah. Dari beberapa tulisannya, secara pribadi saya ada yang setuju dan tentu ada yang tidak setuju. Dan itu adalah hal yang lumrah, karena setiap orang yang melihat fakta yang sama, akan memiliki pemahaman yang berbeda, sebagaimana ungkapan ’The map is not territory’, bahwa peta belum tentu mewakili fakta sejatinya.
Buku “Kritik Tanpa Solusi” yang ditulis dengan gaya ilmiah-populer ini, perlu dibaca semua kalangan karena dapat dijadikan model cara menuangkan kegelisahan pikir ke dalam coretan-coretan kertas kerja walaupun “tanpa solusi”. Buku ini tentu belum dapat sepenuhnya digunakan sebagai sumber utama literatur ilmiah karena memang bukan buku ilmiah utuh. Ia adalah sebuah memoar kegelisahan penulis.
Yang Menggelitik
Saat saya membaca buku, ada tulisan yang menggelitik hati, yaitu tulisan yang berjudul ‘NU dan Tantangan Pluralisme Sosial’. Dalam tulisan tersebut, Badri mencoba menggambarkan bagaimana NU menghadapi tantangan pluralisme sosial dengan peta pikiran pribadinya. Penulis mengutip nilai-nilai rumusan dari al-Syatiby yang dikenal sebagai al-maqosid al syari’ah al khamsah (hal: 144) sebagai dalil gerakan NU dalam menembus batas identitas kultural, budaya dan tradisi.
Menurut saya, ada sesuatu yang hilang dari tulisan itu. Penulis tidak menjelaskan apa yang dimaksud al-maqosid syariah itu sendiri, serta hubungannya dengan identitas kultur, budaya dan tradisi. Di sini penulis juga masih rancu (tidak menjelaskan) ketika menggunakan istilah kultur, budaya, dan tradisi, serta pluralisme. Istilah pluralisme tentu berbeda dengan pluralitas.
Dalam tulisan itu penulis juga menggambarkan bahwa NU dengan landasan nilai tasamuh, tawassuth dan tawazun tidak kemana-mana, namun ada dimana-mana. Menurut saya, pernyataan ini jelas mendistorsi peran NU karena permainan bahasa (language games) dari penulis tersebut perlu diperjelas lebih lanjut. Bagaimana mungkin NU ada dimana-mana, tapi tidak kemana-mana? Apakah yang dimaksud nilai-nilai tadi NU selalu netral dalam segala masalah tanpa pernah berpihak? Mungkinkah?
Kemudian, dalam memahami slogan 'al-muhafadzoh alal qodimis shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah’ juga kurang tepat. Slogan tersebut hanya dipahami sebatas “kultur NU tidak kaku dan menyeramkan”. NU lebih menggunakan esensi daripada formalitas. Penyataan ini tentu masih bisa diperdebatkan. Seolah NU sebagai organisasi menolak mentah-mentah formalisasi agama (baca Syari’ah).
Fakta formalisasi telah terjadi walapun masih dalam kadar parsial, misal penerapan ekonomi Islam, dan perbankan syari'ah. Apakah NU akan menolak formalisasi sistem ekonomi Islam dalam ranah negara? Apakah NU tidak setuju bank syari’ah? Oleh sebab itu, dalam memahami makro politik tidak bisa berpikir sempit dan parsial. Harus berpikir ideologis dan menyeluruh (komprehensif). Sehingga, penulis tidak buru-buru membuat simpulan bahwa dakwah yang mengajak formalisasi syariah sebagai ancaman dan membahayakan negara.
Dalam Buku “Kritik Tanpa Solusi” juga ada tulisan yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, yaitu ‘Masa Depan Peradaban Islam’. Dalam artikel tersebut, penulis mengemukakan beberapa tantangan yang dihadapi umat Islam, yang antara lain; tantangan ideologi, modernitas, invasi kebudayaan, eksploitasi ekonomi dan invasi intelektual.
Namun sayang, penulis tidak menjelaskan masing-masing soal tantangan tersebut, sehingga akan diketahui bagaimana menghadapinya dengan tepat. Penulis justru membawa kita kepada simplifikasi solusi, yaitu dengan pesantren.
Apa betul tantangan seberat itu dapat dipikul tradisi pesantren? Lalu tradisi macam apa yang dapat menghadapinnya? Apakah cukup dengan kemampuan dialog, kontekstualisasi ajaran kitab kuning? Lalu bagaimana menghadapi ganasnya ideologi kapitalisme yang telah menggurita dalam diri umat Islam sendiri? []
Ahdi Riyono, SS, M.Hum, Pemerhati Kebudayaan, Dosen Sastra Inggris di Beberapa Kampus.
Disampaikan dalam Diskusi dan Bedah Buku “Kritik Tanpa Solusi” karya M Abdullah Badri (Penerbit: Diroz Pustaka, 2012) di Aula Masjid Kampus II IAIN Walisongo Semarang, kerjasama Perpustakaan Tarbiyah IAIN WS, Komunitas Pendidikan Kritis Sammara Collage, didukung Penerbit Diroz Pustaka, Senin, 26 November 2012
Posting Komentar
0 Komentar