Refleksi Kecerdasan Kritik


Oleh DR. Hj. Siti Qomariyah, MA
  
Dirozpustaka.com - Membaca judul buku Kritik Tanpa Solusi barangkali kita memprediksi isi buku itu mengulas orang-orang yang suka mengkritik tetapi tidak bisa memberikan solusi. Ternyata buku itu berisi 171 artikel opini kritis penulisnya terhadap berbagai persoalan yang menjadi konsennya dan tidak banyak menyuguhkan alternatif solusi. Artinya, yang mengkritik tanpa solusi itu penulisnya sendiri. Sungguh penulis yang sangat jujur pada diri sendiri.

Banyak orang menilai negatif terhadap orang yang hanya bisa mengkritik, padahal kritik adalah simbul kecerdasan dan kepedulian. Jika kritik ibarat kemampuan diagnosa ia adalah awal penyembuhan oleh ahlinya. Sikap kritis harus dihargai karena kemampuan ini terbentuk melalui usaha-usaha yang tidak mudah: selalu mau mendengar, peduli, memahami, menginternalisasi dan merefleksi lalu memiliki keberanian bersikap dan berekspresi, bukan sekedar mendengar dan melupakan atau mendengar dan mememori atau mendengar dan mengcopy-paste saja tanpa bisa memahami apalagi bertanggungjawab berbuat dan bersikap. 

Paling tidak, kritik –jika dilakukan secara proporsional- menjadi perbuatan nahi mungkar amar ma’ruf pada level bil-lisan atau bil-qalbi. Kalau kita sudah bisa menghargai ‘kritik’ barulah buku ini berharga apalagi jika kita sempat membacanya, buku ini ternyata kaya informasi lebih dari sekedar opini-opini kritis anak muda.

Dengan tebal 404 halaman, buku ini terdiri atas tujuh kelompok bahasan, yang meliputi: “Teologi Kampus dan Amanat Pendidikan” yang terdiri atas 30 artikel, “Budaya Populer dan Teologi Urban” dengan 28 artikel, “Nalar Agama, Ritual Agama dan Politik Keberagaman” diurai dalam 36 artikel, “Teologi Perempuan dan Gender Kosmopolitan” berisi 23 artikel, “Filsafat dan Politik Teknologi” meliputi 12 artikel, “Teologi Politik dan Kritik Kekuasaan” memuat 23 artikel, dan 18 artikel dalam kelompok bahasan “Buku dan Biografi Kegelisahan”. 

70-an artikel dari 171 artikel tersebut telah ditayangkan di berbagai media cetak seperti Suara Merdeka, Radar Surabaya, Kompas, Majalah Paradigma, Harian Analisa Medan, Jurnal Nasional (Jurnas), Majalah Edukasi, Harian Seputar Indonesia, Harian Semarang, Majalah IDEA dan di media elektronik lainnya. 

Sesuai karakterya yang ditulis untuk konsumen media harian dan majalah, kumpulan artikel dalam buku ini tidak disertai footnotes meskipun dalam banyak statemen merujuk pada pemikir-pemikir besar seperti Hegel, Kant, Marx, Nietzsche, Comte, Hazrat Inayat Khan, Alois Sprenger, Juyinboll, Schacht, Kuntowijoyo, Soe Hok Gie, al-Ghazali, dan kitab-kitab berbahasa Arab spt Durratun Nasihin dan lainnya.

Memulai tulisannya dengan “Teologi Kampus dan Amanat Pendidikan”, penulis menyoroti dunia kampus yang masih jauh dari harapan. Institusi kampus dikritik karena dinilai masih birokratis dan kurang peduli pada aktivitas mahasiswa bahkan tidak jarang dengan sengaja membungkam mahasiswa. Kondisi ini telah menimbulkan rasa tidak nyaman dan tidak aman bagi mahasiswa. 

Mahasiswa juga dipandangnya memiliki banyak dosa besar, karena  tidak membaca, tidak berdiskusi, malas bersosialisasi dan malas menulis. Kelompok diskusi mereka minim karena mahasiswa juga dilanda hedonisme dan jahil murokkab. Tidak luput dari sorotannya, mahasiswa pascasarjana bahkan pun dinilainya masih cenderung berorientasi pragmatis semata meningkatkan sumber kehidupan daripada kepentingan meningkatkan nalar intelektual sehingga pascasarjana kehilangan sakralitasnya.

Lebih dari itu, penulis gerah dengan banyak dosen kualitas keilmuan minim dan terkesan tidak mau diganggu gugat, suka menjual diktat dan tidak meciptakan suasana egaliter dengan mahasiswa. Persaingan antara perguruan tinggi dinilainya tidak sehat dan kampus sendiri mengalami keterasingan dari lingkungannya. Ringkasnya, kampus dipandang belum berhasil untuk mencetak alumni yang berwawasan luas dan memiliki jiwa intelektual. Hal demikian menciptakan banyak sarjana yang setelah pulang kampung tidak paham apa-apa. Mereka tidak tahu apa yang yang dibutuhkan kampungnya agar maju dan mereka menjadi kelompok elit dalam keterasingan lingkungan yang gagal melakukan transformasi sosial.

Untuk problematika dunia kampus seperti di atas, disarankan mahasiswa mempelajari dan memahami pemikiran-pemikiran besar dari Plato, Aristoteles, Karl Marx, Immanuel Kant, Lenin, Soekarno, Tan Malaka, Nur Kholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Romo Mangun hingga Ulil Abshor Abdalla. 

Penulis juga menyarankan mahasiswa untuk bisa membuka lapangan kerja sendiri, bisa bersikap kritis dan menjadikan kampus terbuka dan demokratis, memiliki kepedulian dan kesadaran, bisa membangkitkan kembali nilai-nilai pengembangan atmosfir akademis, membentuk kelompok kreatif, melakukan reorientasi, memaknai persma sebagai media untuk mengawal cita-cita bersama; untuk mewujudkan ideologi keadilan dan kemakmuran serta kesetaraan dan kesejahteraan, juga memaknainya sebagai media publik baik untuk intra maupun ekstra kampus dan untuk mendorong kemampuan menulis. Inilah di antara bukti bahwa buku ini bukan saja berisi kritik, melainkan juga menyodorkan beberapa alternatif saran yang bisa menjadi solusi.

Di medan pendidikan, mengesankan sekali penulis berani mengkritik kasus salah satu pondok pesantren yang diktator-otoriter dan tidak toleran pada pengalaman siswanya yang manusiawi, siswa yang karena suatu hal tidak berjamaah sholat subuh, dihukum dengan memotong rambutnya yang indah. Pengalaman ini sangat traumatis dan menjadi awal dari kesulitan-kesulitan siswa tersebut dalam menapaki jenjang pendidikan selajutnya. Penulis menyarankan pemerintah untuk memberi sanki pada pondok pesantren tersebut.

Selanjutnya, dalam pembahasan “Budaya dan teologi Urban”, beberapa artikel disuguhkan, di antaranya dengan judul: Mental Kapital dalam Tradisi Nyumbang, Darah Biru dan Semiotika Kekuasaan, Artis Idola di Negeri Pop, Kemiskinan yang Menggembirakan, Suluk dan Resolusi Kultural, Kudus Kota Seribu Wali, Wajah Pasar Tradisional Kita, Imajinasi Masyarakat Urban, Pudarnya Pesona Ukir Jepara, Tanda Tanya Dialog Antar Budaya, Membangkitkan Budaya Membaca, Setop Menjadi Bangsa Konsumtif. Judul-judul artikel di seluruh buku ini sedemikian menarik dan variatif, akademis bercampur populer, teoritis dan praktis, makro dan detail, linier dan kontradiktif, dengan bahasa elit dan rakyat.

Latar belakang pendidikan penulis yang nomaden dari berbagai lembaga pendidikan agama nampak dalam penguasaannya terhadap materi-materi keagamaan sebagaimana tulisannya dalam kelompok bahasan “Nalar Agama, Ritual Agama dan Politik Keberagaman”. Penulis tidak puas melihat praktik keberagamaan populer yang kurang menyentuh substansi dan kualitas iman dan tidak puas dengan kebijakan pemerintah terhadap kehidupan beragama masyarakat. 

Penulis menyarankan perlunya peningkatan pemahaman dan makna dari praktik-praktik beragama seperti Haji dan Qurban serta peringatan hari-hari besar Islam seperti Rojabiyahan dan Maulidan, perlunya melakukan internasilasi peradaban masjid ke dalam paradigma sosial, perlunya reorientasi trend dakwah ke arah yang konsisten pada cita perjuangan, perlunya bersikap terbuka dan realistis terhadap keragaman tafsir dan dialektika terhadap hadist Nabi.

Patut diapresiasi sikap penulis yang mengkritisi pemerintah otonomi daerah yang ikut mengintervensi pembatasan gerakan aliran agama tertentu seperti Ahmadiyah, meskipun terhadap cara-cara FPI penulis tegas menolaknya. Argumentasinya, mayoritas jangan menindas minoritas, yang minoritas bukan pula untuk memberontak mayoritas, tetapi untuk bersama-sama mencari jalan kompromistis. 

Nampak sekali penulis bersikap pluralis dan kritis terhadap  pemerintah yang menyimpang dari konstitusi. Sikap pluralisnya juga ditunjukkan pada perhatiannya untuk menulis tentang perayaan Hari Raya Imlek. Tidak kalah penting pandangannya bahwa agama berperan secara parsial dan belum ada komitmen kuat dari para pemimpinnya untuk berpihak mengatasi masalah kemanusiaan bersama seperti kemiskinan, mengkonsekwensikan usulan agar agama menjadi pintu gerbang menuju penyelesaian semua masalah kemanusiaan.  

Untuk itu, penulis mendorong perlunya penghayatan ulang nilai-nilai agama yang dibalut dengan nasionalisme tinggi dan semangat pluralitas, sehingga dapat diwujudkan kerjasana agama-agama secara bermutu untuk keberpihakan terhadap problem-problem kemanusiaan. Untuk keperluan itu perlu jembatan media.

Dalam mengulas persoalan gender, meskipun pembahasannya terlihat sangat parsial dan kurang dalam, penulis cukup memberi wawasan tentang persoalan gender di Indonesia. Artikel-artikel terkait mendiskripsikan kondisi perempuan di Indonesia yang masih ditempatkan sebagai konco wingking yang aktivitasnya terbatas pada kesibukan urusan rumah tangga, belum adanya kesetaraan antara hak yang dimiliki laki-laki dan perempuan bahkan kekerasaan terhadap perempuan, angkanya kian mengalami peningkatan. Akhirnya, kualitas sumberdaya perempuan tidak berkembang. 

Maka, kesetaraan gender dan keseimbangan keadilan laki-laki dan perempuan bisa dijadikan arus utama wacana sosial dalam rangka mendudukkan perempuan agar memiliki akses yang sama dengan laki-laki di ruang publik. Perempuan diharapkan berani melakukan terobosan sosial  dan menunjukkan gigi  dibarengi dengan sikap bijak dan serta dukungan publik; sebagai upaya melakukan perebutan citra.

Dalam tulisan gender ini terdapat kelemahan kurang jelasnya batasan gender dan prioritas persoalan yang perlu mendapat perhatian, karena dalam artikel tidak dijelaskan konsep gender dan metode pendekatan. Beberapa model pendekatan yang lazim dipakai dalam kajian gender seperti:  WID (Women in Development), GAD (Gender and Development), GM (Gender Mainstreaming) sangat membantu mengidentifikasi persoalan ketimpatngan relasi gender. 

Penulis menyebut sekali secara sepintas istilah pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming) tanpa makna yang berarti. Padahal istilah itu telah menjadi teori analitis dalam mengidentifikasi persoalan gender serangkai dengan manajemen pembangunan, sejauh mana perempuan telah dilibatkan dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol di semua bidang pada semua level dan di seluruh institusi maupun ruang publik, baik untuk akses keterlibatannya maupun peluangnya memeroleh hasil-hasil pembangunan menuju yang berkeadilan secara proporsional dengan kaum laki-laki.

Dalam kelompok artikel selanjutnya, berturut turut tentang “Filsafat dan Politik Teknologi”, “Teologi Politik dan Kritik Kekuasaan”, banyak opini dan kritik tajam dilemparkan, antara lain: elit politik kita dinilai penulis masih emosional, adanya autisme politik dan pergeseran demokrasi dengan masuknya kaum hedon para selebriti ke dalam gedung-gedung DPR maupun DPRD, adanya arogansi kekuasaan serta konflik kepentingan elit sehingga kekuasaan menyisakan kekecewaan. Namun demikian, penulis mengkritisi pemuda yang apatis pada politik. Baginya, “ngomongin politik itu tidak kotor, yang kotor tindakan elitnya”, tulisnya. Penulis secara implisit berpihak pada perwakilan rakyat yang memahami rakyat dan memiliki kualitas akademis yang memadahi.

Secara keseluruhan, buku ini sejenis karya bunga rampai berisi artikel berbagai topik, dokumen problem-problem kehidupan yang diwacakan oleh media, ditulis secara deskriptis, bergaya bahasa populer, energik, segar, sangat kaya informasi dan imajinasi, dari penulis yang berwawasan luas dan cerdas serta kritis dan berani. 

Buku ini menggambarkan penulisnya paham banyak hal. Dia mendengar, dia memahami dan berpendapat, baik mengkritisi maupun mengajukan harapan-harapan pada yang terkait. Buku ini sangat berguna khususnya bagi kalangan mahasiswa, aktivis sosial dan kaum muda, untuk membuka cakrawala umum berbagai persoalan dunia kampus, agama, kekuasaan, perempuan dan lain lain. Lebih-lebih bagi yang tertarik belajar menulis artikel untuk media massa atau yang suka berdiskusi topik terkait, saya merekomendasikan untuk membaca buku ini.

Karya ini patut dihargai. Jika menilik penulisnya yang masih tergolong sangat muda tulisan ini merefleksikan bakat kecerdasarn intelektual dalam arti yang luas, bukan kecerdasan intelektual dalam arti sempit yang hanya mengurus akal kognitif. Kecerdasan intelektual dalam arti yang luas dan sebenarnya memikul tanggungjawab pada kepedulian dan dharma bhakti aplikasi keilmuan untuk masyarakat dan lingkungannya.

Idealisme perguruan tinggi untuk mengembangkan bakat potensi mahasiswa baik hard conpetence dan soft competence-nya sekaligus baru menjadi cita-cita. Kebanyakan perguruan tinggi dan akademisi hanya konsen pada urusan hard competence, yaitu mengurus pengembangan kecerdasan intelektual dalam arti sempit. 

Capaian mahasiswa dan civitas akademika di luar itu seakan dianggap sepi karena ruang pengembangan soft competence yang bisa memunculkan daya saing dan menjanjikan lebih banyak peluang keberhasilan mahasiswa kurang mendapat porsi perhatian yang memadai, baik oleh pengelola perguruan tinggi maupun mahasiswa sendiri. Soft competence  menghargai pengembangan semua bakat intelektual, spiritual dan emosional manusia, seperti munculnya tulisan "Kritik Tanpa Solusi" yang tidak berfootnote itu. Tulisan ini berisi ilmu tetapi disuguhkan tidak dengan menggunakan standar ilmiah. Karya ini adalah hasil usaha pengembangan bakat positif manusia dan sangat bermanfaat pada porsinya sendiri.

Buku ini memiliki karakternya tersendiri sebagai kumpulan tulisan populer di media. Tulisan ini menyuguhkan deskripsi persoalan lalu penyampaian dalam bentuk opini dan banyak menggunakan generalisasi sebagaimana umumnya karya media koran dan majalah. Yang demikian ini tidak lazim dalam karya ilmiah. 

Buku ini bisa menjadi karya ilmiah jika dilengkapi dengan landasan teori dan footnotes, dijelaskan metode penelitiannya, ditunjukkan data-data pembuktian empirisnya, ditajamkan analisanya, disimpulkan seluas relevansi data pendukungnya dan ditulis dengan bahasa Indonesia baku yang benar. Buku ini juga tidak ada persoalan untuk tetap dalam karakternya tersendiri sebagai kumpulan opini. Buku semacam ini juga banyak peminat. Dengan satu buku, bisa diperoleh informasi berbagai persoalan, bukan dalam perspektif dunia perguruan tinggi dengan standar karya ilmiahnya, melainkan dari pandangan orang di lapangan yang mau mendengar lingkungannya dengan penuh kejujuran.[]

Keterangan:
Disampaikan Dr. Hj. Siti Qomariyah (Mantan Bupati Kabupaten Pekalongan), MA dalam Bedah Buku Kritik Tanpa Solusi, karangan M. Abdullah Badri, Semarang (Penerbit Diroz Pustaka, 2012), oleh BEM STAIN Pekalongan, pada Selasa, 20 Nopember 2012, di Auditorium STAIN Pekalongan. 

Posting Komentar

0 Komentar