Dirozpustaka.com - Media menempati posisi problematik antara mengontrol dan dikontrol. Satu sisi, media disebut sebagai pilar ke empat demokrasi, sisi lain, ia juga harus manut kepada etika publik yang juga penuh kontrol.

Wacana itulah yang mengemuka dalam Diskusi dan Bedah Buku "Kritik Tanpa Solusi" dengan tema "Kontrol Media" yang dibesut oleh Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo dalam rangkaian "Sekolah Filsafat Mahasiswa" di Desa Keji, Ungaran, Kabupaten Semarang, Sabtu, 3 November 2012.

"Media itu tidak bisa dikontrol, kecuali oleh kepentingannya sendiri, walau di sana kita tahu ada PWI, KPI dan AJI," ujar Abdullah Badri, penulis buku.

Menurut Badri, istilah yang paling cocok dengan bahasan kontrol media adalah politik media, bukan kontrol media. Pasalnya, media punya cara komunikasi sendiri untuk menyampaikan informasi kepada publik. Toh kalau pun dikontrol, itu sifatnya politis, bukan ideologis.

Badri tidak percaya kalau media lepas dari kepentingan politik, terutama bila pemiliknya adalah figur yang dekat dengan akses dan kepentingan politik kekuasaan jangka pendek.

Bila dinyatakan oleh kalangan pers bahwa media itu memihak kepada kebenaran, itu hanya omong kosong yang wajar dan perlu. Badri menafsirkan, kebenaran yang dimaksudkan dalam keberpihakan media adalah kebenaran versi pemiliknya, atau visi misinya. Dalam konteks ini, menyatukan suara media, adalah perkara mustahil dan mimpi di siang bolong.

"Koran sekaliber Kompas, Tempo, tentu memilah dan memilih informasi yang diberitakan, bukan asal benar dan objektif saja," kata Badri menerangkan dua  judul esai dalam buku, "Merayakan Ideologi Kebenaran Persma" dan "Tubuh Politis Perempuan." (AT)